Selasa, 22 November 2011

parencanaan prakeri smk n 1 sintoga



Warga Miskin Kota Padang Meningkat
Rahmi Amalia - Padang Ekspres

klik untuk melihat foto
Ilustrasi

Jumlah warga miskin di Kota Padang diprediksi meningkat pascagempa.
Soalnya, selain banyak yang kehilangan mata pencaharian, tidak
kondusifnya dunia usaha juga memicu banyaknya orang miskin.

Dari data terakhir Bappeda Kota Padang tahun 2009 sebelum gempa,
jumlah warga miskin di Kota Padang berjumlah 29.661 RTM, atau sekitar
185 juta jiwa. Jika dibandingkan kemiskinan tahun 2008 yang jumlahnya
mencapai 34.000 RTM memang berkurang, namun jika dikalkulasikan
dengan kondisi pascagempa, bisa jadi ada peningkatan.

Hal itu dibenarkan Sekretaris Bappeda Kota Padang Syahrul. Dia
menyebutkan, kemungkinan peningkatan itu bisa saja terjadi, apalagi
pascagempa banyak faktor yang bisa menjadi alasan kenaikan angka
kemiskinan tersebut.

"Kalau untuk kemiskinan permanen, indikatornya sudah jelas, ada
sekitar 14 indikator, diantaranya pendidikan, kesehatan, dan
pendapatan. Tapi kalau pascagempa, tentu lain pula indikatornya, "
jelas Syahrul. (*)

-----

Rabu, 24/03/2010 08:49 WIB
Mereka Memilih Bekerja Ketimbang Kuliah
Ardiansyah Lubis - Padang Ekspres


Tak sedikit para siswa SMA dan sederajat setelah lulus nanti
berencana melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yakni
ke Perguruan Tinggi atau Universitas. Meski demikian, pandangan
tersebut tak selalu serupa dari sekian banyak siswa-siswi SMA
sederajat di Kabupaten Padangpariaman. Bagaimana dengan mereka yang
berasal dari sekolah kejuruan. Apakah cita-cita ingin melanjutkan ke
PT/universitas itu juga menjadi pilihan mereka nanti?.

Pagi itu setelah melewati UN hari ke-2, Selasa (23/3), Padang Ekspres
(Group PadangToday) menjambangi beberapa tempat nongkrong siswa/siswi
SMKN 1 Sintoga yang berada tak jauh dari sekolah mereka. Disana
terlihat, 2 orang siswi berpakaian sekolah tengah asyik duduk
dilantai salah satu rumah warga sambil memegang papa alas ujian.
Memang mereka baru saja selesai UN bidang studi Bahasa Inggris saat itu.

Sesekali melihat kejalan yang letaknya berada tepat didepan lokasi
itu, mereka sesekali tertawa. Ketika dijambangi dan dihampiri lebih
dekat lagi, Padang Ekspres berusaha memperkenalkan diri, demikian
pula sebaliknya 2 orang gadis berusia 17 tahun ini pun membalas
dengan perkenalan. Satunya bernama Winda, sementara satunya lagi
bernama Novia.

Winda dan Novia tercatat sebagai siswi jurusan Akomodasi Perhotelan
di SMKN 1 Sintoga. Berawal dari percakapan ringan, akhirnya dari
sinilah diketahui keinginan kedua gadis ini. Mereka setelah tamat
kuliah nanti berencana ingin bekerja dan tidak ingin melanjutkan ke
PT/universita. Sesuai dengan jurusannya di sekolah, mereka ingin
diterima bekerja di hotel. Bisa sebagai reseptionist, waitres dan
lain sebagainya sesuai dengan klasifikasi jurusan yang mereka
pelajari selama ini.

Tak ingin melanjutkan ke PT/universitas ternyata tak sekedar alasan
saja. Alasan mereka diperkuat dengan ketidakmampuan orangtua mereka
untuk membiayai kuliah dengan biaya yang semakin hari semakin mahal.
Sehingganya, pilihan terakhir mereka dijatuhkan untuk bekerja bukan
menyambung ke jenjang kuliah. "Biayanya kan mahal bang.

Memang saya pernah punya keinginan untuk kuliah, tapi semua tidak
didukung dengan kemampuan orangtua. Untuk sekolah kini saja orangtua
sudah susah. Apalagi untuk kuliah yang memerlukan biaya besar. Selain
itu bang, kalau dilanjutkan ke kuliah, berarti percuma saja kemampuan
yang kita dapat disekolah selama ini," ungkap Winda diamini Novia.

Ternyata, selain dihadapkan pada persoalan biaya, alasan mereka
menolak melanjutkan kuliah juga disebabkan tidak ingin membuang
ketrampilan yang didapatkan selama dibangku sekolah. Sebagai siswa
jurusan perhotelan, jelas kemampuan yang berhubungan dengan industri
perhotelan yang mereka dapatkan selama ini haruslah dilanjutkan
melalui prakteknya yang ujung-unjung dapat dilaksanakan langsung
melalui kerja.

Memang sangat berbeda kondisi yang terjadi pada sekolah kejuruan.
Mereka lebih mengandalkan skill dan kemampuan untuk dapat menentukan
langkah selanjutnya diterima di perusahaan yang sesuai dengan jurusan
mereka.

Meski banyak hambatan untuk melanjutkan ke jenjang perkuliahan,
pernyataan dan keinginan mereka itu ternyata didukung oleh beberapa
kerjasama yang telah dijalin oleh pihak sekolah sebelumnya dengan
beberapa industri seperti perhotelan. Bagi mereka yang lulus nanti
dari sekolah, mereka pun siap diterima di hotel-hotel yang telah
dijalin kerjasama sebelumnya. Meski demikian tidak semudah itu,
mereka yang direkomendasikan olah pihak sekolah adalah mereka yang
berprestasi dan jumlah rekomendasi itu pun terbatas tergantung dari
kontrak kerjasama yang diinginkan pihak manajemen perhotelan dan
industri lainnya.

Yah, cukup berat juga perjuangan para siswa dari kejuruan ini. Meski
lapangan pekerjaan telah menanti mereka melalui ketrampilan yang
dimiliki, tapi tetap semua harus dilalui dengan kerja keras. Mereka
harus punya nilai yang bagus dan memenuhi standar dari perhotelan dan
industri rekanan tersebut.

Akibatnya, Winda dan Novia harus benar-benar serius demi mendapatkan
nilai terbaik pada UN kali ini. Katanya, dia sudah mempersiapkan
semuanya. Niatnya yang keras ingin bekerja, ternyata telah disiapkan
lewat belajar yang intensif jelang UN berlangsung. "Jika nilai tidak
memenuhi syarat, maka percuma juga. Akan sulit sekali untuk bisa
diterima bekerja di hotel dan industri lainnya," aku Winda.

Meski demikian, ternyata pihak sekolah pun sudah mempersiapkan hal
positif bagi lulusannya. Antara lain, melakukan kerjasama dengan
pihak perhotelan dan industri melalui magang siswanya disana. Magang
itu diwajibkan bagi siswa kelas II.

Mereka yang magang diberikan pembekalan dan latihan bekerja selama 4
bulan di beberapa hotel dan industri di Indonesia. Selain itu,
kedepan pun pihak sekolah terus mengintensifkan kerjasama dengan
perhotelan dan industri ini guna menampung lulusannya kelak. Sehingga
lulusan dari sekolah jurusan ini bermanfaat dan dapat mengaplikasikan
ilmunya setelah lulus dari sekolah dan tidak menjadi pengangguran.
"Ada kerjasama sekolah dengan perusahaan, namun mereka yang diterima
tergantung nilai bagus juga. Sebelumnya, kita diberi magang selama 4
bulan waktu kita kelas II. Lokasinya ditentukan melalui kerjsama
dengan industri dan perhotelan," paparnya.

Winda dan Novia mengakui, lebih memilih bekerja selepas sekolah
ketimbang melanjutkan ke PT/universitas tak lain dan tak bukan lebih
kepada keinginannya untuk mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat
selama dibangku sekolah, disamping tak ingin memberatkan beban
orangtua untuk membiayai jika mereka kuliah. Selain itu mereka juga
beranggapan, tidak selalu orang yang kuliah bisa menjadi orang
sukses. Karena menurut mereka kesuksesan itu berawal dari kerja keras.

"Kan tidak selamanya juga orang kuliah itu bisa jadi orang hebat dan
besar. Kita juga bisa jadi orang besar dan mandiri dan mampu hidup
dengan keahlian yang kita miliki. Ini juga menjadi alasan bagi saya
dan Novi untuk pengen bekerja setelah lulus ketimbang kuliah," tandas
Winda mengakhiri. [*]
------

Senin, 05/04/2010 12:04 WIB
Menunggu Terjual Baru Bisa Makan Dan Upah Pekerja
Ardiansyah Lubis - Padang Ekspres


Pasca gempa, keberadaan Industri Kerajinan Rumah Tangga (IKRT) yang
diyakini mampu menopang kelangsungan hidup para pelakunya, ternyata
berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi. Malah, hampir bisa
dipastikan bila mereka tidak mendapatkan perhatian dari pihak terkait
berupa tambahan modal, usaha yang konon telah dirintis lama bahkan
ada yang sudah puluhan tahun itu terancam gulung tikar. Tak saja para
pelaku sebagai pemilik modal yang harus menanggung akibatnya, tapi
juga para pekerjanya. Bahkan kini sepinya pembeli membuat IKRT
semakin kewalahan mengepakkan sayapnya. Mereka masih bertahan, karena
masih memiliki tanggungan keluarga.

Usia tua tak menghambat seseorang untuk berkarya dan memiliki usaha.
Begitu juga, dampak gempa yang terjadi 30 September tak selalu
membuat para korban gempa pesimis bangkit dari keterpurukan ekonomi
yang dihadapinya. Selagi ada upaya, maka jalan itu selalu terbuka.
Mungkin itu menjadi salah satu filosofi bagi para pelaku IKRT di
Kabupaten Padangpariaman ini. Terlihat semangat yang tak pernah
luntur terus berjuang dan berusaha demi pemenuhan kebutuhannya, meski
semakin hari gerbang kebangkrutan semakin terbuka.

Salah satu contoh IKRT anyaman atap rumbio yang terletak di Korong
Kelok Licin Nagari Pasar Usang Kecamatan Batang Anai Kabupaten
Padangpariaman. Terletak tepat dipinggir jalan lintas yang
menghubungkan Kota Padang dengan beberapa Kabupaten/kota lainnya di
Sumbar dengan ruang lepas yang berada tepat disamping petak bangunan
rumah berukuran 4 m x 4 m, Mak Suan, 74, memulai usahanya sejak ia
berusia 30 tahun. Berarti sudah hampir 44 tahun usaha itu ia jalani.
Meski telah lama bergelut dengan usaha kerajinan anyaman rumbio,
sampai kini usaha itu tak juga berkembang.

Bahkan, tahun ini sejak minimnya jumlah, pembeli ditakutkan usaha itu
akan gulung tikar. Pasalnya, sampai saat ini pun modal yang
didapatkan Mak Suan tak juga bertambah. Usahanya itu ke itu saja, tak
ada perkembangan berarti. Bahkan, tak jarang ia harus gali lobang
tutup lobang demi pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Sebelum hasil
anyaman rumbio dibeli oleh pemesan, sepeser pun uang tak
didapatkannya. Jangankan untuk memodali kembali membeli bahan baku,
untuk makan saja ia harus menunggu anyaman laku terjual.

Sungguh malang nasib Mak Suan, tak pernah terpikirkan olehnya untuk
menjadi kaya dengan usaha itu. Sudah bisa untuk makan setiap hari
saja sudah syukur baginya. Sebab, meski sudah diusia senja yang
semestinya ia tak pantas lagi memikirkan harus menjadi pemberi makan
dan kebutuhan bagi keluarga, terpaksa harus ia jalani agar dapat
menghidupi anak dan cucu-cucunya.

Bahkan tak jarang pula usaha ini dilakukannya, karena memang tidak
ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan Mak Suan. Selama ini ia tetap
bertahan tanpa mau berusaha untuk meminjam modal baik itu melalui
dinas terkait atau melalui perbankan. Bukan tak ingin dibantu, tapi
Mak Suan takut berhutang. Ditambah lagi birokrasi yang selama ini
sulit, membuatnya tak percaya dengan pinjaman yang diberikan, takut
ia terjeret hukum. "Takuik minjam-minjam. Amak takuik bautang,"
katanya polos.

Kerasnya hati Mak Suan menjalani usaha itu hingga kini tak terlepas
dari rasa sayangnya kepada anak dan cucu-cucunya. Ia masih merasa
bertanggung jawab menghidupi dan memberi nafkah anaknya, terutama
para cucu-cucunya. Sekedar dapat membiayai makannya, anak dan cucu-
cucunya, sudah membuatnya bahagia. Meski hari tuanya dipertaruhkan,
asal anak dan cucunya bahagia, Mak Suan akan lebih bahagia lagi.
"Sakadar balanjo amak, anak, jo cucu-cucu. Ibo amak mancaliak anak
cucu. Kok kondisi kini indak tatatiang rasonyo lai," imbuhnya.

Seiring sepinya pembeli dan pemesan atap rumbio miliknya, pemikiran
Mak Suan bertambah. Kini, tak saja nasib anak dan cucunya yang jadi
pertaruhan, tapi juga nasib 3 orang pekerjanya masing-masing Usi,
Suli, dan Iban. Masing-masing pekerjanya ini memiliki beberapa orang
tanggungan keluarga. Seperti Usi dan Suli memiliki masing-masing 3
orang tanggungan. Sedangkan memiliki 6 tanggungan. Bahkan, Iban saat
ini tak lagi memiliki suami. Beberapa waktu lalu, suaminya meninggal
karena terkena petir.

Sehari, 1 orang pekerjanya mampu menyelesaikan 50
"samingkauan" (helai, red) anyaman. Bila dikalikan tiga, setiap
harinya para pekerja Mak Suan mampu menyelasaikan 150 helai. Kadang
tak jarang hanya beberapa helai saja, tergantung bahan baku yang
tersedia. Namun, kini selain sepi pembeli, bahan baku juga sulit
didapatkan meski bahan baku masih dipasok di Kabupaten
Padangpariaman. Ketiga orang pekerja ini, direkrut Mak Suan sejak 2
tahun lalu. Mereka bertiga termasuk TK yang terampil dan memiliki
keahlian merajut anyaman rumbio. Pekerja diupah setiap 1 helai
sebesar Rp500. Harga jual setiap helai sebesar Rp2.500.

Matinya usaha kerajinan anyaman rumbio tak terlepas dari kebutuhan
atap seng dan genteng yang semakin tinggi setiap tahunnya. Seperti
yang diakui Mak Suan, dulunya hampir sebagian orang menggunakan atap
rumbio untuk rumah mereka. Tapi kini kenyataan itu telah berbanding
terbalik. Atap dari anyaman rumbio ini semakin keterbelakangan.
Keberadaannya semakin dikesampingkan. Meski sebenarnya, daya tahannya
dari panas dan hujan tak jauh berbeda bila menggunakan atap seng atau
genteng.

Kembali ke alam, memanfaatkan segala Sumber Daya Alam (SDA) yang
melimpah dan murah, tak selalu menjadi bagian dari perubahan zaman
yang terjadi setiap generasi baru yang muncul. Keberadaan alam dengan
berjuta hasil yang mampu dimanfaatkan demi pemenuhan kebutuhan
semakin terkesampingkan dengan kemajuan teknologi. Bahkan, hal itu
juga berimbas bagi para pelaku yang masih berpola pikir tradisional
dan tidak mengikuti zaman. Meski demikian, pilihan itu menjadi
sesuatu yang harus dihargai. Cara mereka menjalani kehidupan, tentu
patut diberi perhatian terutama oleh pemerintah dan pelaku dunia usaha.

Seperti kebutuhan dan permintaan yang saat ini disampaikan oleh Mak
Suan ini contohnya. Meski menginginkan usaha itu berkembang pesat,
dengan segala keterbatasan dan pendidikan rendah yang dimilikinya,
keberadaan birokrasi yang ada saat ini belum sepenuhnya dapat
dipercayanya menjadi penolong bagi kelangsungan hidup usaha atap
rumbio miliknya. Sulitnya proses birokrasi pengurusan bantuan modal
terkait perkembangan usahanya, masih menjadi momok menakutkan. Mak
Suan masih menganggap praktek lintah darat dan serupa dengan itu,
juga berlaku saat ini. Dia takut, harus mengembalikan pinjaman
seperti aturan buruk yang telah terkenal sejak dulunya dengan sebutan
"rentenir". "Amak takuik. Kalau bisa maminjam yo indak gadang
bungonyo do. Biasonyo dulu kalau maminjam sampai lo bungo tu gadang
dari pinjaman," jelasnya.

Tak saja berimbas langsung pada Mak Suam. Secara tidak langsung, bila
Mak Suam kesulitan untuk memasarkan anyaman itu, tentu para
pekerjanya pun kesulitan mendapatkan bayaran atas kerjanya. Suli, ibu
beranak dua ini mengaku suami yang bekerja di sawah sebagai petani
penggarap tak bisa diharapkan untuk pemenuhan kebutuhan makan sehari-
hari. Bahkan, kebutuhannya semakin hari semakin meningkat ditambah
kedua anaknya harus dibiayai pula untuk kebutuhan sekolahnya.
Pelabuhan Suli menerima tawaran Mak Suam sejak 2 tahun lalu menjadi
pekerja pada usaha anyaman atap rumbio itu, tak terlepas dari beban
hidup dan kebutuhan yang harus dipenuhinya bagi keluarga. Suli yang
terbilang terampil menyulam setiap helai daun rumbio menjadi anyaman
susunan daun rumbio dihargai sebesar Rp500 setiap helainya. Bila laku
banyak, maka Suli pun akan kejipratan upah yang lumayan banyak, namun
demikian juga sebaliknya. Meski demikian, anyaman atap rumbio
biasanya laku terjual setelah sebulan lamanya ditumpuk digudang milik
Mak Suan. Kadang, lewat dari beberapa bulan anyaman itu pernah tak
laku sama sekali. "Biasonyo ditumpuak dulu. Biasonyo lah sabulan baru
ado nan mambali," katanya.

Usi yang juga ibu beranak dua ini tak jauh beda nasibnya dengan Suli.
Kedua anaknya kini juga sedang mengenyam sekolah. Selain itu suaminya
juga memiliki pekerjaan serabutan, yang tak tentu menafkahi keluarga.
Terjun bekerja dan mencari uang, tak lepas pula dari kebutuhan yang
harus dipenuhinya.

Meski pemasaran dan pembeli anyaman ini tak saja berasal dari dalam
Kabupaten Padangpariaman, tetap saja melihat lamanya kerajinan itu
baru dapat terjual, atap rumbio tak lagi menjadi primadona dibanding
dulu-dulunya semasa kehidupan mudanya Mak Suan. Kini atap rumbio
telah menjadi barang yang terpinggirkan. "Lah sadolah payah kini,"
ujarnya.

Lebih memiriskan lagi, nasib Iban bila dibandingkan dengan Suli dan
Usi. Iban kini harus menjadi "single parent" bagi 6 orang anaknya.
Suaminya baru beberapa lama ini meninggal akibat tersambar petir saat
berada disungai menggali pasir. Ayah 6 anak itu bekerja sebagai
penggali pasir. Nasib baik tak berpihak padanya, saat ia harus tewas
disambar petir ketika bekerja menggali pasir. Kini beban hidup mau
tak mau harus ditanggung Iban. [*]




 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management