Warga Miskin Kota Padang Meningkat Rahmi Amalia - Padang Ekspres klik untuk melihat foto Ilustrasi Jumlah warga miskin di Kota Padang diprediksi meningkat pascagempa. Soalnya, selain banyak yang kehilangan mata pencaharian, tidak kondusifnya dunia usaha juga memicu banyaknya orang miskin. Dari data terakhir Bappeda Kota Padang tahun 2009 sebelum gempa, jumlah warga miskin di Kota Padang berjumlah 29.661 RTM, atau sekitar 185 juta jiwa. Jika dibandingkan kemiskinan tahun 2008 yang jumlahnya mencapai 34.000 RTM memang berkurang, namun jika dikalkulasikan dengan kondisi pascagempa, bisa jadi ada peningkatan. Hal itu dibenarkan Sekretaris Bappeda Kota Padang Syahrul. Dia menyebutkan, kemungkinan peningkatan itu bisa saja terjadi, apalagi pascagempa banyak faktor yang bisa menjadi alasan kenaikan angka kemiskinan tersebut. "Kalau untuk kemiskinan permanen, indikatornya sudah jelas, ada sekitar 14 indikator, diantaranya pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. Tapi kalau pascagempa, tentu lain pula indikatornya, " jelas Syahrul. (*) ----- Rabu, 24/03/2010 08:49 WIB Mereka Memilih Bekerja Ketimbang Kuliah Ardiansyah Lubis - Padang Ekspres Tak sedikit para siswa SMA dan sederajat setelah lulus nanti berencana melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yakni ke Perguruan Tinggi atau Universitas. Meski demikian, pandangan tersebut tak selalu serupa dari sekian banyak siswa-siswi SMA sederajat di Kabupaten Padangpariaman. Bagaimana dengan mereka yang berasal dari sekolah kejuruan. Apakah cita-cita ingin melanjutkan ke PT/universitas itu juga menjadi pilihan mereka nanti?. Pagi itu setelah melewati UN hari ke-2, Selasa (23/3), Padang Ekspres (Group PadangToday) menjambangi beberapa tempat nongkrong siswa/siswi SMKN 1 Sintoga yang berada tak jauh dari sekolah mereka. Disana terlihat, 2 orang siswi berpakaian sekolah tengah asyik duduk dilantai salah satu rumah warga sambil memegang papa alas ujian. Memang mereka baru saja selesai UN bidang studi Bahasa Inggris saat itu. Sesekali melihat kejalan yang letaknya berada tepat didepan lokasi itu, mereka sesekali tertawa. Ketika dijambangi dan dihampiri lebih dekat lagi, Padang Ekspres berusaha memperkenalkan diri, demikian pula sebaliknya 2 orang gadis berusia 17 tahun ini pun membalas dengan perkenalan. Satunya bernama Winda, sementara satunya lagi bernama Novia. Winda dan Novia tercatat sebagai siswi jurusan Akomodasi Perhotelan di SMKN 1 Sintoga. Berawal dari percakapan ringan, akhirnya dari sinilah diketahui keinginan kedua gadis ini. Mereka setelah tamat kuliah nanti berencana ingin bekerja dan tidak ingin melanjutkan ke PT/universita. Sesuai dengan jurusannya di sekolah, mereka ingin diterima bekerja di hotel. Bisa sebagai reseptionist, waitres dan lain sebagainya sesuai dengan klasifikasi jurusan yang mereka pelajari selama ini. Tak ingin melanjutkan ke PT/universitas ternyata tak sekedar alasan saja. Alasan mereka diperkuat dengan ketidakmampuan orangtua mereka untuk membiayai kuliah dengan biaya yang semakin hari semakin mahal. Sehingganya, pilihan terakhir mereka dijatuhkan untuk bekerja bukan menyambung ke jenjang kuliah. "Biayanya kan mahal bang. Memang saya pernah punya keinginan untuk kuliah, tapi semua tidak didukung dengan kemampuan orangtua. Untuk sekolah kini saja orangtua sudah susah. Apalagi untuk kuliah yang memerlukan biaya besar. Selain itu bang, kalau dilanjutkan ke kuliah, berarti percuma saja kemampuan yang kita dapat disekolah selama ini," ungkap Winda diamini Novia. Ternyata, selain dihadapkan pada persoalan biaya, alasan mereka menolak melanjutkan kuliah juga disebabkan tidak ingin membuang ketrampilan yang didapatkan selama dibangku sekolah. Sebagai siswa jurusan perhotelan, jelas kemampuan yang berhubungan dengan industri perhotelan yang mereka dapatkan selama ini haruslah dilanjutkan melalui prakteknya yang ujung-unjung dapat dilaksanakan langsung melalui kerja. Memang sangat berbeda kondisi yang terjadi pada sekolah kejuruan. Mereka lebih mengandalkan skill dan kemampuan untuk dapat menentukan langkah selanjutnya diterima di perusahaan yang sesuai dengan jurusan mereka. Meski banyak hambatan untuk melanjutkan ke jenjang perkuliahan, pernyataan dan keinginan mereka itu ternyata didukung oleh beberapa kerjasama yang telah dijalin oleh pihak sekolah sebelumnya dengan beberapa industri seperti perhotelan. Bagi mereka yang lulus nanti dari sekolah, mereka pun siap diterima di hotel-hotel yang telah dijalin kerjasama sebelumnya. Meski demikian tidak semudah itu, mereka yang direkomendasikan olah pihak sekolah adalah mereka yang berprestasi dan jumlah rekomendasi itu pun terbatas tergantung dari kontrak kerjasama yang diinginkan pihak manajemen perhotelan dan industri lainnya. Yah, cukup berat juga perjuangan para siswa dari kejuruan ini. Meski lapangan pekerjaan telah menanti mereka melalui ketrampilan yang dimiliki, tapi tetap semua harus dilalui dengan kerja keras. Mereka harus punya nilai yang bagus dan memenuhi standar dari perhotelan dan industri rekanan tersebut. Akibatnya, Winda dan Novia harus benar-benar serius demi mendapatkan nilai terbaik pada UN kali ini. Katanya, dia sudah mempersiapkan semuanya. Niatnya yang keras ingin bekerja, ternyata telah disiapkan lewat belajar yang intensif jelang UN berlangsung. "Jika nilai tidak memenuhi syarat, maka percuma juga. Akan sulit sekali untuk bisa diterima bekerja di hotel dan industri lainnya," aku Winda. Meski demikian, ternyata pihak sekolah pun sudah mempersiapkan hal positif bagi lulusannya. Antara lain, melakukan kerjasama dengan pihak perhotelan dan industri melalui magang siswanya disana. Magang itu diwajibkan bagi siswa kelas II. Mereka yang magang diberikan pembekalan dan latihan bekerja selama 4 bulan di beberapa hotel dan industri di Indonesia. Selain itu, kedepan pun pihak sekolah terus mengintensifkan kerjasama dengan perhotelan dan industri ini guna menampung lulusannya kelak. Sehingga lulusan dari sekolah jurusan ini bermanfaat dan dapat mengaplikasikan ilmunya setelah lulus dari sekolah dan tidak menjadi pengangguran. "Ada kerjasama sekolah dengan perusahaan, namun mereka yang diterima tergantung nilai bagus juga. Sebelumnya, kita diberi magang selama 4 bulan waktu kita kelas II. Lokasinya ditentukan melalui kerjsama dengan industri dan perhotelan," paparnya. Winda dan Novia mengakui, lebih memilih bekerja selepas sekolah ketimbang melanjutkan ke PT/universitas tak lain dan tak bukan lebih kepada keinginannya untuk mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat selama dibangku sekolah, disamping tak ingin memberatkan beban orangtua untuk membiayai jika mereka kuliah. Selain itu mereka juga beranggapan, tidak selalu orang yang kuliah bisa menjadi orang sukses. Karena menurut mereka kesuksesan itu berawal dari kerja keras. "Kan tidak selamanya juga orang kuliah itu bisa jadi orang hebat dan besar. Kita juga bisa jadi orang besar dan mandiri dan mampu hidup dengan keahlian yang kita miliki. Ini juga menjadi alasan bagi saya dan Novi untuk pengen bekerja setelah lulus ketimbang kuliah," tandas Winda mengakhiri. [*] ------ Senin, 05/04/2010 12:04 WIB Menunggu Terjual Baru Bisa Makan Dan Upah Pekerja Ardiansyah Lubis - Padang Ekspres Pasca gempa, keberadaan Industri Kerajinan Rumah Tangga (IKRT) yang diyakini mampu menopang kelangsungan hidup para pelakunya, ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi. Malah, hampir bisa dipastikan bila mereka tidak mendapatkan perhatian dari pihak terkait berupa tambahan modal, usaha yang konon telah dirintis lama bahkan ada yang sudah puluhan tahun itu terancam gulung tikar. Tak saja para pelaku sebagai pemilik modal yang harus menanggung akibatnya, tapi juga para pekerjanya. Bahkan kini sepinya pembeli membuat IKRT semakin kewalahan mengepakkan sayapnya. Mereka masih bertahan, karena masih memiliki tanggungan keluarga. Usia tua tak menghambat seseorang untuk berkarya dan memiliki usaha. Begitu juga, dampak gempa yang terjadi 30 September tak selalu membuat para korban gempa pesimis bangkit dari keterpurukan ekonomi yang dihadapinya. Selagi ada upaya, maka jalan itu selalu terbuka. Mungkin itu menjadi salah satu filosofi bagi para pelaku IKRT di Kabupaten Padangpariaman ini. Terlihat semangat yang tak pernah luntur terus berjuang dan berusaha demi pemenuhan kebutuhannya, meski semakin hari gerbang kebangkrutan semakin terbuka. Salah satu contoh IKRT anyaman atap rumbio yang terletak di Korong Kelok Licin Nagari Pasar Usang Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padangpariaman. Terletak tepat dipinggir jalan lintas yang menghubungkan Kota Padang dengan beberapa Kabupaten/kota lainnya di Sumbar dengan ruang lepas yang berada tepat disamping petak bangunan rumah berukuran 4 m x 4 m, Mak Suan, 74, memulai usahanya sejak ia berusia 30 tahun. Berarti sudah hampir 44 tahun usaha itu ia jalani. Meski telah lama bergelut dengan usaha kerajinan anyaman rumbio, sampai kini usaha itu tak juga berkembang. Bahkan, tahun ini sejak minimnya jumlah, pembeli ditakutkan usaha itu akan gulung tikar. Pasalnya, sampai saat ini pun modal yang didapatkan Mak Suan tak juga bertambah. Usahanya itu ke itu saja, tak ada perkembangan berarti. Bahkan, tak jarang ia harus gali lobang tutup lobang demi pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Sebelum hasil anyaman rumbio dibeli oleh pemesan, sepeser pun uang tak didapatkannya. Jangankan untuk memodali kembali membeli bahan baku, untuk makan saja ia harus menunggu anyaman laku terjual. Sungguh malang nasib Mak Suan, tak pernah terpikirkan olehnya untuk menjadi kaya dengan usaha itu. Sudah bisa untuk makan setiap hari saja sudah syukur baginya. Sebab, meski sudah diusia senja yang semestinya ia tak pantas lagi memikirkan harus menjadi pemberi makan dan kebutuhan bagi keluarga, terpaksa harus ia jalani agar dapat menghidupi anak dan cucu-cucunya. Bahkan tak jarang pula usaha ini dilakukannya, karena memang tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan Mak Suan. Selama ini ia tetap bertahan tanpa mau berusaha untuk meminjam modal baik itu melalui dinas terkait atau melalui perbankan. Bukan tak ingin dibantu, tapi Mak Suan takut berhutang. Ditambah lagi birokrasi yang selama ini sulit, membuatnya tak percaya dengan pinjaman yang diberikan, takut ia terjeret hukum. "Takuik minjam-minjam. Amak takuik bautang," katanya polos. Kerasnya hati Mak Suan menjalani usaha itu hingga kini tak terlepas dari rasa sayangnya kepada anak dan cucu-cucunya. Ia masih merasa bertanggung jawab menghidupi dan memberi nafkah anaknya, terutama para cucu-cucunya. Sekedar dapat membiayai makannya, anak dan cucu- cucunya, sudah membuatnya bahagia. Meski hari tuanya dipertaruhkan, asal anak dan cucunya bahagia, Mak Suan akan lebih bahagia lagi. "Sakadar balanjo amak, anak, jo cucu-cucu. Ibo amak mancaliak anak cucu. Kok kondisi kini indak tatatiang rasonyo lai," imbuhnya. Seiring sepinya pembeli dan pemesan atap rumbio miliknya, pemikiran Mak Suan bertambah. Kini, tak saja nasib anak dan cucunya yang jadi pertaruhan, tapi juga nasib 3 orang pekerjanya masing-masing Usi, Suli, dan Iban. Masing-masing pekerjanya ini memiliki beberapa orang tanggungan keluarga. Seperti Usi dan Suli memiliki masing-masing 3 orang tanggungan. Sedangkan memiliki 6 tanggungan. Bahkan, Iban saat ini tak lagi memiliki suami. Beberapa waktu lalu, suaminya meninggal karena terkena petir. Sehari, 1 orang pekerjanya mampu menyelesaikan 50 "samingkauan" (helai, red) anyaman. Bila dikalikan tiga, setiap harinya para pekerja Mak Suan mampu menyelasaikan 150 helai. Kadang tak jarang hanya beberapa helai saja, tergantung bahan baku yang tersedia. Namun, kini selain sepi pembeli, bahan baku juga sulit didapatkan meski bahan baku masih dipasok di Kabupaten Padangpariaman. Ketiga orang pekerja ini, direkrut Mak Suan sejak 2 tahun lalu. Mereka bertiga termasuk TK yang terampil dan memiliki keahlian merajut anyaman rumbio. Pekerja diupah setiap 1 helai sebesar Rp500. Harga jual setiap helai sebesar Rp2.500. Matinya usaha kerajinan anyaman rumbio tak terlepas dari kebutuhan atap seng dan genteng yang semakin tinggi setiap tahunnya. Seperti yang diakui Mak Suan, dulunya hampir sebagian orang menggunakan atap rumbio untuk rumah mereka. Tapi kini kenyataan itu telah berbanding terbalik. Atap dari anyaman rumbio ini semakin keterbelakangan. Keberadaannya semakin dikesampingkan. Meski sebenarnya, daya tahannya dari panas dan hujan tak jauh berbeda bila menggunakan atap seng atau genteng. Kembali ke alam, memanfaatkan segala Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah dan murah, tak selalu menjadi bagian dari perubahan zaman yang terjadi setiap generasi baru yang muncul. Keberadaan alam dengan berjuta hasil yang mampu dimanfaatkan demi pemenuhan kebutuhan semakin terkesampingkan dengan kemajuan teknologi. Bahkan, hal itu juga berimbas bagi para pelaku yang masih berpola pikir tradisional dan tidak mengikuti zaman. Meski demikian, pilihan itu menjadi sesuatu yang harus dihargai. Cara mereka menjalani kehidupan, tentu patut diberi perhatian terutama oleh pemerintah dan pelaku dunia usaha. Seperti kebutuhan dan permintaan yang saat ini disampaikan oleh Mak Suan ini contohnya. Meski menginginkan usaha itu berkembang pesat, dengan segala keterbatasan dan pendidikan rendah yang dimilikinya, keberadaan birokrasi yang ada saat ini belum sepenuhnya dapat dipercayanya menjadi penolong bagi kelangsungan hidup usaha atap rumbio miliknya. Sulitnya proses birokrasi pengurusan bantuan modal terkait perkembangan usahanya, masih menjadi momok menakutkan. Mak Suan masih menganggap praktek lintah darat dan serupa dengan itu, juga berlaku saat ini. Dia takut, harus mengembalikan pinjaman seperti aturan buruk yang telah terkenal sejak dulunya dengan sebutan "rentenir". "Amak takuik. Kalau bisa maminjam yo indak gadang bungonyo do. Biasonyo dulu kalau maminjam sampai lo bungo tu gadang dari pinjaman," jelasnya. Tak saja berimbas langsung pada Mak Suam. Secara tidak langsung, bila Mak Suam kesulitan untuk memasarkan anyaman itu, tentu para pekerjanya pun kesulitan mendapatkan bayaran atas kerjanya. Suli, ibu beranak dua ini mengaku suami yang bekerja di sawah sebagai petani penggarap tak bisa diharapkan untuk pemenuhan kebutuhan makan sehari- hari. Bahkan, kebutuhannya semakin hari semakin meningkat ditambah kedua anaknya harus dibiayai pula untuk kebutuhan sekolahnya. Pelabuhan Suli menerima tawaran Mak Suam sejak 2 tahun lalu menjadi pekerja pada usaha anyaman atap rumbio itu, tak terlepas dari beban hidup dan kebutuhan yang harus dipenuhinya bagi keluarga. Suli yang terbilang terampil menyulam setiap helai daun rumbio menjadi anyaman susunan daun rumbio dihargai sebesar Rp500 setiap helainya. Bila laku banyak, maka Suli pun akan kejipratan upah yang lumayan banyak, namun demikian juga sebaliknya. Meski demikian, anyaman atap rumbio biasanya laku terjual setelah sebulan lamanya ditumpuk digudang milik Mak Suan. Kadang, lewat dari beberapa bulan anyaman itu pernah tak laku sama sekali. "Biasonyo ditumpuak dulu. Biasonyo lah sabulan baru ado nan mambali," katanya. Usi yang juga ibu beranak dua ini tak jauh beda nasibnya dengan Suli. Kedua anaknya kini juga sedang mengenyam sekolah. Selain itu suaminya juga memiliki pekerjaan serabutan, yang tak tentu menafkahi keluarga. Terjun bekerja dan mencari uang, tak lepas pula dari kebutuhan yang harus dipenuhinya. Meski pemasaran dan pembeli anyaman ini tak saja berasal dari dalam Kabupaten Padangpariaman, tetap saja melihat lamanya kerajinan itu baru dapat terjual, atap rumbio tak lagi menjadi primadona dibanding dulu-dulunya semasa kehidupan mudanya Mak Suan. Kini atap rumbio telah menjadi barang yang terpinggirkan. "Lah sadolah payah kini," ujarnya. Lebih memiriskan lagi, nasib Iban bila dibandingkan dengan Suli dan Usi. Iban kini harus menjadi "single parent" bagi 6 orang anaknya. Suaminya baru beberapa lama ini meninggal akibat tersambar petir saat berada disungai menggali pasir. Ayah 6 anak itu bekerja sebagai penggali pasir. Nasib baik tak berpihak padanya, saat ia harus tewas disambar petir ketika bekerja menggali pasir. Kini beban hidup mau tak mau harus ditanggung Iban. [*] |
This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
Selasa, 22 November 2011
parencanaan prakeri smk n 1 sintoga
19.42
jefri_rancak
No comments